Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bambu Dulu dan Kini

Sebulan setelah pulang kampung, saya berencana membuat warung bambu kecil di desa yang kami tempati sekarang, Poreh. Akhirnya saya berinisiatif mencari tukang potong bambo. Tapi naas, beberapa orang yang saya kenal dulu tukang potong bambu tidak berkenan. Alasannya tidak lain karena factor umur dan mulai sakit-sakitan.

sumber gambar: kehati.or.id

Pencarian berlanjut. Seorang teman, memberi tahu saya, ada yang biasa memotong bambu. Malangnya, orang tersebut sekarang lagi berduka sekarang. Jadi saya urungkan untuk meminta bantuan memtong bambu darinya.

Saya mencoba mencari yang lain, namun juga tidak berkenan. Saya hanya berguman dalam hati “susahnya cari orang untuk memotong bambu”.

Dua hari selang kedukaan orang tersebut, saya memberanikan diri menemuinya. saya utarakan maksud untuk meminta bantuan memotong bambu. Orang tersebut menyanggupi untuk memotong bambu keesokan harinya. Namun, malangnya takkala pulang ke rumah dan menemui bapaknya meminta izin untuk memotong bambu. Bapaknya tidak berkenan karena trauma anaknya jatuh lagi. Apes lagi. Akhirnya, tak disangka, mungkin karena kasihan melihat saya kesana-kemari mencari tukang potong bambu, kakakku datang menawarkan diri untuk mengambil dan memotongkan bambu.

***

Dulu, sekitar 20 tahun lalu, di desaku banyak pengrajin bambu. Biasanya mereka membuat berbagai macam kerajinan mulai tempat berkumpul seperti lencak, gaddang, kalasa, tabing,  dan lainnya. Hasil kerajinan biasanya mereka jual ke Pasar Lenteng atau Pasar Anom Sumenep.

Namun saat ini, hampir disetiap dusun yang ada di desa, tidak pernah sama sekali saya temui pengrajin bambu, kecuali Dusun Pocang Desa Cangkreng, itupun hanya beberapa gelintir orang yang menjadi pengrajin bambu tersebut

Dulu, kita bisa meminta tolong pada pengrajin bambu untuk memotongkan bambu. Maklum bambu yang banyak tumbuh di daerah kami adalah bambu yang berduri. Jadi tidak sembarang orang biasa memotongnya. Berbeda sekarang, jangankan pengrajin bambu, pemotong bambu pun tinggal seorang.

Di saat beberapa desa di Indonesia mengembangkan produk kerajinan, justru di desa kami berlomba-lomba meninggalkan desa. Ada yang sekedar mencari kerja di kota, bahkan semenjak 2015 banyak yang bekerja dan membuat toko kelontong di Jakarta.

Maklum, 10 tahun belakangan banyak yang meninggalkan desa disebabkan masalah ekonomi. Jangankan menjadi pengrajin bambu yang penghasilan bulanannya belum tentu dapat. Para petanipun banyak yang kelimpungan, akibat harga hasil pertanian yang tidak stabil di tambah akhir-akhir ini pupuk pertanian sangat langka.

Punahnya pengrajin bambu tidak hanya disebabkan oleh faktor ekonomi. Faktor sosial juga turut menggerus profesi pengrajin bambu. Di desa kami yang terkenal guyub dan sering nongkrong sekedar gossip dan bercanda di tempat yang biasa disebut dengan lencak. Sudah tidak banyak ditemui di desa kami. Padahal dulu, hampir tiap rumah mempunyai lencak.

Lencak tak hanya sekedar tempat nongkrong. Namun juga sekaligus merekatkan rasa solidaritas dan guyub antar sesama warga. Sekarang sudah berbeda, di desa tidak lagi dikenal sistem gotong-royong. Semua berbayar, mulai dari tanam padi hingga bangun rumah. Jika dulu ada orang minta tolong untuk menanam padi, maka pada gilirannya kitapun akan membantu untuk menanamkan padi miliknya. Namun bahasa minta tolong sekarang sudah berubah. Jika kita minta tolong pada orang untuk menanam padi, maksudnya saya akan membayarnya jika ia menyanggupi untuk “membantu menanamkan padi milik kita”.

***

Sekarang, bambu yang ada di desa kami, seolah hanyalah pajangan yang berderet-deret. Bahkan bambu yang berada di pinggiran sungai banyak yang patah akibat permukaan air yang naik takkala hujan deras. Mirisnya, patahan bambu menumpuk di sungai dan dibiarkan begitu saja, sehingga banyak sampah tersendat dan menggunung akibat tumpukan bambu tersebut.

Post a Comment for "Bambu Dulu dan Kini"