Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Palang Pintu

Sejak pagi buta, rekan-rekan guru kontrak bergantian mandi dengan kondisi air yang sedikit. Memang memprihatinka. Maklum, air yang seharusnya lancar mengalir lewat “sanyo” menjadi terhenti. Sebab, arus listrik padam, tidak menyala sepanjang malam. Oh ya, listrik yang biasa kami dapatkan dari PLTD tidak setiap hari menyala. Kadang menyala, kadang tidak. 
sumber gambar ilustrasi: pikist.com


Bahkan pernah satu bulan lebih tidak menyala akibat mesin PLTD rusak. Sehingga kami biasanya menggunakan genset untuk menghidupkan listrik. Itupun jika kondisi keuangan kami ada. Sehingga bisa membeli bensin untuk bahan bakar genset.

Sebagian rekan-rekan sudah menyiapkan masakan untuk kami. Biasanya sebelum berangkat ke sekolah, kami sarapan bersama. Kami memang sedari awal datang, bersepakat patungan untuk membeli beras, sayur dan ikan dan tugas piket masak secara bergilirian. Kami, saejumlah 16 guru kontrak, datang dengan kondisi keuangan yang sedikit. Boleh dikatakan, pas-pasan. Ada yang sisa empat ratus ribu, tiga ratus ribu, bahkan dua ratus ribu. Saya sendiri sisa dua ratus ribu. 

Dengan kondisi uang yang sedikit tersebut, sangat tidak mungkin jika dari guru kontrak makan sendiri-sendiri apalagi membeli makanan di warung. Maklum, kota tempat kami mengabdi terkenal dengan pengeluaran yang cukup besar. 

Untuk membeli beras saja yang 25 kg, kita harus mengocek minimal 350 ribu untuk ukuran beras standar. Jika ingin membeli beras yang lumayan bagus misal merk 99, maka bisa sampai 400 ribu. Itupun juga tidak cukup memasak sampai dua minggu. Belum lagi untuk membeli ikan yang harga per tumpuk 20 ribu, itupun hanya cukup dimakan 6-8 orang, sedangkan sayur yang dijual perikatnya mencapai 5000 rupiah.

Pukul 6.30 WIT, beberapa dari kami biasanya sudah berangkat ke sekolah. Ada yang jalan kaki bersama anak-anak, sebagian naik sepeda, dan ojek. Jarak antara sekolah dan mess pendidikan sekitar 1,5 km. Namun alangkah tekejutnya saya bersama teman-teman guru yang lain melihat ada sebagian anak pada pulang. 

Saya bertanya kepada anak-anak mengapa pulang. Ia jawab “Pak guru sekolah kita di palang”. Awalnya saya tidak terlalu paham, apa maksud sekolah di palang. Namun setelah sampai sekolah, saya mendapati pintu kantor dan semua kelas sudah di palang oleh marga tertentu. Salah seorang wali murid mengatakan bahwa itu adalah kayu termahal. Palang kayu tersebut tidak bisa dilepas begitu saja, kecuali oleh orang atau marga yang memasang palang tersebut.

Sebagian dari kami mengatur anak-anak yang masih di sekolah. Kemudian diarahkan ke mess pendidikan. Sebagian yang lain menunggu informasi di sekolah terkait pemalangan sekolah. Saya sendiri masih di sekolah menemani kepala sekolah menunggu pejabat dari Dinas Pendidikan untuk menyelesaikan kasus pemalangan tersebut. 

Setelah datang ke sekolah, utusan dinas yakni Pak Derek Lokden mengatakan bahwa kasus pemalangan sekolah tersebut tidak serta merta bisa diselesaikan hari ini juga. Kata beliau biasanya kasus seperti ini bisa agak lama. Setelah berbincang sebentar, kami dan pak Derek Lokden berserta staf dinas yang lain berinisiatif menemui kepala suku yang memalang sekolah kami. 

Sampainya di sana, kami diterima baik di kediamannya. Namun dalam sesi pembicaraan tersebut ada hal yang menyentak nurani kami. Yakni kepala suku meminta tidak ada aktivitas pembelajaran di sekolah selama proses pemalangan. Jika ada aktivitas pembelajaran di kelas, meskipun di dalamnya ada anaknya, ia akan bakar sekolah tersebut. 

Kami, terutama guru kontrak dan kepala sekolah saling memandang mendengar ucapan tersebut. Kepala suku mengatakan hal tersebut dengan serius. Ia menambahkan bahwa ia tidak benci dengan guru atau pun kepala sekolah yang mengajar di SD-SMP Negeri Terpadu. Sama sekali tidak, malah ia bersyukur dengan adanya guru dan kepala sekolah yang bersemangat untuk mengajar anaknya. Namun di sisi lain, ada proses yang menurutnya harus diselesaikan oleh pemerintah. Jika tidak, maka sekolah selamanya akan terpalang dan tidak bisa digunakan untuk proses pembelajaran. 

Pada akhirnya kami memahami, bahwa urusan sekolah yang dipalang bukan lagi urusan guru dan kepala sekolah, namun urusan pemerintah dengan suku yang bersangkutan. Dari proses itu juga akhirnya kami memaklumi dan mengerti tentang proses adat pemalangan yang dijalani oleh sekolah kami.

Akhirnya kami bersama utusan dinas mohon pamit ke kepala suku. Setibanya di mess pendidikan, pak Derek Lokden berpesan untuk sementara pembelajaran dilaksanakan di mess pendidikan, sampai ada keputusan kepala dinas untuk keberlangsung tempat belajar murid-murid SD-SMP Negeri Terpadu. 

Setelah utusan dinas pamit kembali ke kantor, anak-anak pada mengerubungi kami sembari menanyakan di tempat mana mereka akan belajar. Kami pun juga bingung untuk menjawab pertanyaan mereka. Namun ada salah satu rekan kami menguatkan anak-anak dengan mengatakan kita akan belajar disini, di mess pendidikan, karena tempatmu belajar tidak hanya di sekolah, namun dimanapun tempat yang membuatmu nyaman untuk belajar itulah sekolah sebenarnya.

 

Post a Comment for "Palang Pintu"