Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tragedi II : Kobaran Api Unggun Bag. II

Tragedi: Kobaran Api Unggun Bagian I

oleh: Zenithpedia

Sumber gambar ilustrasi: superlive.id

Anak-anak kami yang terkena jilatan api. Mereka terluka bakar. Ada yang bagian kaki, paha dan wajah. Bahkan ada sebagian rambut mereka. Mereka menangis meronta kepanasan. Sementara peserta upacara banyak yang menangis melihat teman dan senior mereka tersambar jilatan api. Saya dan para guru-guru sangat panik menghadapi situasi dan kondisi seperti itu. Sebagian guru mencoba menenangkan anak-anak kami. Terutama mereka yang terkena jilatan api sembari menunggu ambulan datang.

Para orang tua berdatangan ke lokasi setelah mendengar berita tentang kejadian api unggun. Sebagian mereka yang melihat anak-anak mereka terkena jilatan api langsung menangis, sebagian yang lain diam menahan perih atas kejadian tersebut. 

Kejadian tersebut menyebabkan orang-orang banyak berdatangan. Maklum, sekolah kami dekat dengan jalan raya. Sehingga kejadian sekecil apapun yang ada di lingkungan sekolah pasti akan menyebabkan orang berdatangan, apalagi bagian depan sekolah tidak ada pintu gerbang yang menutup akses orang luar masuk ke lingkungan sekolah.

Setelah ambulan datang, panitia membawa anak-anak  ke rumah sakit. Sedangkan sebagian guru mengurus peserta Perjusami yang masih bertahan di sekolah.

Setibanya di rumah sakit, saya baru tahu tingkat keparahan luka bakar anak-anak kami. Diketahui, dari 9 anak kami, 4 orang menderita luka serius. Ada satu orang terluka bagian kaki sampai mendekati paha hampir terkelupas semua. Di samping itu juga kedua tangannya terlihat agak hangus. Ada yang terkena wajah dan tangannya bahkan sebagian rambut depannya hangus terkena jilatan api. 

Betapa sedih hatiku menyaksikan mereka kesakitan. Saya memandang diri saya penuh dengan penyesalan. Betapa saya sebagai ketua panitia seharusnya mampu mengontrol kegiatan yang dilakukan oleh anak-anak kami. Sehingga mereka tidak mengalami musibah seperti ini. Saya menyesal karena kegiatan Perjusami ini harusnya jadi kenangan indah, namun malah berbuah petaka bagi anak-anak kami.

Saya, sebenarnya paling tidak tahan melihat orang yang sakit. Apalagi disertai tangisan. Tidak tahan bukan karena merasa jijik melihat kondisi orang yang sakit. Namun lebih karena ketidakberdayaan diri melihat kondisi yang mereka alami dan saya tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya menunggu dan menemani mereka.

Malam semakin larut, kami menunggu dokter yang memeriksa anak-anak kami. Setelah ke luar, dokter memberitahukan kami bahwa 5 anak kami dibolehkan untuk pulang malam itu juga, mengingat kondisi luka bakarnya tidak terlalu parah. Sedangkan 4 orang lainnya harus menginap.

Kami berinisiatif untuk menjaga anak kami di rumah sakit bersama orang tua mereka.

Hal yang menjadi beban pikiran saya adalah salah satu anak kami yang paling terluka parah tidak ditemani oleh orangtuanya, karena orangtua dan saudaranya berada di kota lain. Bagaimana saya akan menjelaskan kejadian tersebut kepada orangtuanya. Bagaimana saya akan bertanggungjawab terhadap musibah yang menimpa anak tersebut. Rasanya kepala ingin pecah saat itu, selain karena kurang tidur selama 2 hari. Di samping itu juga memikirkan kondisi anak tersebut dan bagaimana saya harus memberitahukan kondisi anak tersebut kepada kedua orangtuanya. Kadang terlintas, jika tidak melaksanakan Perjusami, mungkin tidak akan ada kejadian seperti ini. Namun apalah daya semua sudah tersurat dan menjadi takdir-Nya.

Ketika kondisi anak-anak sudah mulai membaik setelah ditangani para dokter, saya menghampiri anak tersebut dan menanyakan kondisinya. Anak tersebut hanya bilang “tidak apa-apa pak guru, saya hanya terkena luka bakar sedikit”. Masya Allah betapa kuat anak tersebut, padahal dia yang paling parah di antara teman-temannya. Seketika itu juga mata saya meleleh. Ya Allah nak, betapa kuatnya kamu menahan perihnya luka yang hampir membakar seluruh kaki dan tanganmu. Saya hanya menggeleng kepala tanda tak percaya, ada anak gadis yang berusia 15 tahun, mendapatkan luka yang cukup serius, namun seolah ia tidak merasakan sakit akibat jilatan api yang membakar kaki dan tangannya. Lebih takjubnya lagi, seolah ia yang menenangkan guru-gurunya yang resah dan panik akibat kejadian api unggun tersebut.

Saya ke luar ruangan agar anak-anak bisa istirahat dengan tenang. Saya berbincang dengan teman guru berkaitan dengan bagaimana nanti berkomunikasi dengan orangtua anak tersebut. Saya yakin orangtuanya akan terkejut mendengar dan melihat kondisi anaknya yang terkena jilatan api. Teman saya pun kebingungan menghadapi situasi seperti ini. Akhirnya kami pun tidak mendapatkan solusi apapun selain kebingungan.

Keesokan harinya, yakni hari Minggu, setelah anak-anak diperiksa oleh dokter, mereka diperkenankan pulang. Namun, diberi catatan bahwa setiap 3 hari harus melakukan control ke rumah sakit. Akhirnya kami mengantarkan anak-anak ke rumah masing-masing. Sampai di rumah anak yang terakhir, ibunya sudah menunggu anak tesebut. Ternyata ia pulang setelah mendengar musibah kebakaran yang menimpa anaknya. 

Kami berbincang dan memohon maaf atas segala kelalaian kami sehingga menyebabkan putrinya terkena luka bakar. Untungnya, ibunya memaklumi atas kejadian yang menimpa anaknya. Kami sampaikan juga kepada ibu tersebut bahwa para guru tetap bertanggungjawab atas musibah yang terjadi pada anak-anak sampai mereka sembuh dari luka bakarnya. Akhirnya kami pamit pulang.

Senin pagi, saya bersiap ke sekolah. Salah seorang guru menjemput saya di rumah. Ia mengatakan bahwa ada salah seorang wali murid berteriak di depan kantor mencari para guru untuk ia bunuh. Wali murid tersebut tidak terima dengan kondisi luka bakar anaknya. Terus terang saya agak gugup untuk menemuinya. Gugup lantaran yang saya temui kondisinya dipengaruhi oleh alkohol. Di samping itu juga terdapat beberapa orang yang menemami bapak tersebut, sehingga saya beranggapan apakah guru-guru akan dikeroyok? Dengan mengumpulkan keberanian dan rasa tanggungjawab, akhirnya saya pergi ke kantor untuk menemui bapak tersebut.

Setibanya di kantor, saya menemui bapak tersebut. Belum sempat saya berbicara, ia sudah meluapkan kemarahan. Saya mendengarkan segala luapan kemarahannya. Sampai akhirnya, saya mendapatkan kesempatan untuk berbicara. Saya katakan kepada bapak tersebut bahwa kami akan melakukan yang terbaik buat anak bapak, membawanya ke rumah sakit untuk melakukan kontrol atas luka bakar. Setiap tiga hari sekali sesuai dengan petunjuk dokter, membelikan obat yang dianjurkan dokter, serta obat salep alternatif lainnya yang sudah dipesankan ke kota lain. Demi kesembuhan anak tersebut. 

Tidak hanya itu, kami para guru, secara bergantian akan mengungjungi anak yang terluka. "Jika bapak sangat merasa terpukul, kami para guru pun juga sangat terpukul atas kejadian yang menimpa anak-anak kami. Jika apa yang dilakukan oleh para guru masih dianggap kurang oleh bapak, saya tidak tahu harus mengerjakan apa lagi agar bapak bisa memaafkan kekhilafan kami", kata saya berharap mereka mengerti.

Akhirnya bapak tersebut menangis. Ia meminta maaf atas kata-kata yang tadi ia lontarkan. Ia hanya tidak ingin anaknya cacat karena luka bakar. Akhirnya kami pun bersalaman.

Post a Comment for "Tragedi II : Kobaran Api Unggun Bag. II"