Wajah Terluar Pendidikan Kita
Tulisan ini sebagai bentuk refleksi atas fenomena pembelajaran yang berubah secara drastis terutama terhadap apa yang saya alami tempo dulu. Meskipun saat ini kondisinya sudah berubah, baik dalam konteks tempat pengabdian dan sosiokultural masyarakat maupun pembelajarannya. Setidaknya, saya pernah mengalami bagaimana kondisi pembelajaran di daerah yang termasuk 3T ketika COVID-19 mewabah.
Sumber gambar: https://gtk.kemdikbud.go.id/ |
“Pembelajaran daring lagi”
celetuk temanku seorang guru. Bahkan ada kepala sekolah melempar status di
facebook “kapan pintarnya kalau BDR diperpanjang”.
Keluh kesah tersebut sudah biasa
kami dengar hampir di sepanjang semester
ganjil 2020. Bahkan dua bulan sebelum semester ganjil, kami terpaksa
melaksanakan pembelajaran daring akibat pandemi COVID-19.
Kami anggap terpaksa, karena bagi
kami di pedalaman , pembelajaran daring ini merupakan hal yang baru, terutama
untuk siswa. Meskipun sekolah kami tiap tahun, sebelum COVID-19, melaksanakan
UNBK. Namun kami, selaku guru jarang memberikan pelatihan terhadap siswa agar
terbiasa menggunakan perangkat computer.
Bahkan sebagian guru di sekolah
kami agak gagap dengan penggunaan teknologi pembelajaran. Meskipun sudah bisa
mengetik dan copy paste. Namun hal tersebut jauh dari kata ideal untuk
bisa melaksanakan pembelajaran daring untuk daerah kami.
Sebelum semester ganjil dimulai, kami
melaksanakan pelatihan pembelajaran daring, mulai dari power point, google
form, google classroom,
kinemaster dan quizizz. Harapannya agar semester ganjil lebih siap apabila
diterapkan PSBB di Kabupaten kami.
Benar saja, pembelajaran daring
berlanjut pada semester ganjil tahun pelajaran 2020/2021. Sekolah kami yang
sudah siap tempur, lansung tancap gas melaksanakan pembelajaran daring. Dua
minggu berselang kami evaluasi, hasilnya sudah bisa ditebak. Sangat sedikit
diantara siswa yang mengikuti pembelajaran daring.
Oh ya, pembelajaran daring yang
kami laksanakan, bukan pembelajaran daring langsung melainkan semi daring.
Karena jaringan yang tidak stabil di daerah kami. Setiap bahan yang sudah siap,
kami upload di youtube dan linknya kami letakkan di google classroom atau via
WA.
Setelah kami selidiki dari
beberapa orang tua, ternyata banyak orang tua yang mengeluhkan pembelajaran
daring dengan model video di youtube. salah satu faktornya adalah banyaknya
pengeluaran orang tua untuk membeli pulsa di samping kebutuhan harian,
sementara sumber pendapatan orang tua banyak yang terhambat.
Akhirnya dari sekolah memberikan
pilihan kepada siswa, bisa melihat video pembelajaran atau power point dan PDF
yang telah dibagikan guru-guru di WA group kelas masing-masing. Setelah
berselang 3 minggu hasilnyapun tidak mengalami peningkatan dari pembelajaran
daring sebelumnya. Bahkan kami pernah mencoba memberikan materi dan tugas dari
rumah ke rumah agar siswa dapat belajar dan mengumpulkan tugas. Namun, hasilnyapun
juga tidak mengalami peningkatan signifikan.
***
Sedari awal, terutama kami yang
berada di kabupaten 3T, agak kesulitan untuk menerapkan pembelajaran daring.
Baik guru, siswa ataupun dari dinas sekalipun. Kita gagap, takkala terjadi
wabah COVID-19 dan menutup seluruh akses Pendidikan kecuali secara daring.
Meskipun sudah banyak alternatif pembelajaran yang ditawarkan di internet
melalui situs pribadi, organisasi pendidikan dan youtube. Namun bagi kami,
masih “belum” merasakan begitu banyak manfaat yang bisa diambil dari fasilitas
online tersebut.
Hampir selama satu semester kami berkutat
dengan persoalan tesebut dan akibatnya mengalami stagnansi efektivitas
pembelajaran, penananam karakter dan penguatan keterampilan. Guru-guru banyak
mengeluh dengan sedikitnya tugas yang dikumpulkan dan rata-rata hasil ujian
yang jauh di bawah KKM. Di tambah dengan
pengerjaan yang dilakukan siswa serba asal dan cepat selesai. Bahkan mirisnya,
saya mendengar salah satu siswa mengatakan, yang penting mengerjakan ujian dan
sedikit tugas toh juga akan naik kelas.
Belum lagi persoalan karakter. Kami, guru-guru yang hanya
bisa mengontrol siswa melalui social media, mendapati beberapa siswa
mengirimkan video tidak senonoh kepada temannya. Dan dari mereka, kita menjadi
tahu bahwa mereka sudah tahu mengenai situs-situs dengan konten dewasa. Belum
lagi kasus siswa yang terbiasa menghirup lem aibon. Bahkan untuk kasus yang
terakhir ini, sudah menjadi penyakit yang sudah akut dan lama yang sampai
sekarang belum terselesaikan.
Kasus-kasus tersebut merupakan bagian dari akumulasi
ketidakberdayaan lembaga pendidikan ketika terjadi perubahan mendasar pada
media pembelajaran. Kita menjadi tahu, takkala lembaga pendidikan formal
digeser dari sekolah ke rumah. Mulai terkuak, kekerasan pada anak yang
dilakukan oleh orang tua.
Orang tua yang tidak tahan melihat anak tertatih-tatih dalam
memahami pelajaran kadang akan serta merta marah. Begitu juga dengan kondisi
orang tua yang tidak tahu dan mengerti dengan soal-soal yang diberikan oleh
guru, akan mudah marah dan menyalahkan keadaan. Kondisi seperti ini, banyak
kami temui di daerah kami.
Sekedar catatan, di daerah kami, banyak diantara guru-guru
yang tidak memberikan materi ataupun tugas dengan maksimal. Mengapa?. Salah
satu alasannya, target pencapaian materi tidak harus tuntas. Hal ini seolah
menjadi pembenaran terhadap tindakan guru-guru tersebut. Peran kepala sekolah
dan pengawas dalam memonitor kinerja guru juga tidak maksimal. Asal guru
sesekali sudah memberikan materi dan tugas. Maka mereka sudah dianggap
mengerjakan kewajiban sebagai seorang guru.
Pada masa pandami COVID-19, kesehatan siswa, guru, dan
tenaga Pendidikan merupakan hal yang penting. Namun, jika kita melaksanakan
Pendidikan dengan cara yang sembrono dan tidak sigap dengan keadaan.
Maka di kemudian hari, kita akan menuai hasil anak-anak yang akan menjadi beban
bangsa.
Post a Comment for "Wajah Terluar Pendidikan Kita"
Komentar/ informasi anda sangat kami butuhkan