Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KEKUASAAN POLITIK UANG ; KEPENTINGAN PUBLIK VS BISNIS DALAM DEMOKRASI DESA

KEKUASAAN POLITIK UANG ; KEPENTINGAN PUBLIK VS BISNIS DALAM DEMOKRASI DESA
Moh Ikmal
Oleh : Moh. Ikmal, S.Pd*
A.   Dinamika Politik Desa
Memasuki akhir tahun dan mengawali tahun baru 2014 tentu berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2014 tidak hanya sekedar perubahan waktu namun memasuki fase dimana akuntabilitas dan elektabilitas kinerja pemerintah diakhir masa kepemimpinan kembali di uji. Pemilu adalah merupakan pintu untuk mengukur elektabilitas pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahannya selama 5 tahun. Desa secara formal merupakan wilayah terendah dalam pengelolaan pemerintahan dalam rangka otonomi daerah, juga dituntut tidak hanya pada aspek politik sebagai institusi politik terkecil dalam kerangka sistem politik namun desa juga merupakan institusi administratif dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Keberadaan desa penting terutama dalam rangka peningkatan kualitas kesejahteraan, pelayanan publik, tata kelola pemerintahan yang baik serta memperkuat daya saing desa. Penataan desa berdasarkan prinsip good governance tersebut adalah merupakan wujud penting dalam rangka mengawal proses demokratisasi dalam bingkai otonomi daerah.
Sebagai satuan pemerintahan terkecil yang melaksanakan fungsi-fungsi pelayanan kepada masyarakat, desa juga merupakan wadah partisipasi rakyat dalam aktivitas politik dan pemerintahan. Praktek politik yang bisa kita saksikan pada masyarakat desa adalah pemilihan kepala desa (pilkades) yang merupakan bentuk miniatur pemerintahan. Melalui pilkades inilah sebenarnya indikator untuk mengukur elektabilitas kinerja pemerintahan ditingkat lokal.
Pemilihan kepala desa (pilkades) ini konon dianggap sebagai arena demokrasi yang paling nyata di desa. Dalam pilkades terjadi kompetisi yang bebas, partisipasi masyarakat, pemilihan secara langsung dengan prinsip one man one vote. Tetapi dalam banyak desa, pilkades yang berlangsung secara demokratis sering harus dibayar dengan risiko politik yang mahal. Tidak jarang pesta politik tersebut diwarnai dengan konflik horizontal antar pendukung calon. Kekerasan meledak ketika kubu calon kades yang kalah melampiaskan kekecewaannya. Buntutnya adalah dendam pribadi yang terus dibawa, serta permusuhan (“perang dingin”) antarpendukung yang sebenarnya mereka saling bertetangga.
Dinamika dan konstelasi politik di desa memiliki kekhasan tersendiri. Kekhasan tersebut antara lain ditunjukkan dalam prosesi pemilihan kepala desa (Pilkades) yang jauh dari hiruk pikuk dunia ke-parpol-an. Berbeda dengan satuan wilayah di atasnya, calon-calon yang terlibat dalam kompetisi memperebutkan kursi elit tertinggi desa adalah calon-calon independen yang dicalonkan oleh warga atau mencalonkan diri.
Dengan demikian, ditengah kejumudan yang dihadapi masyarakat saat ini menyangkut pemenuhan hak-hak dasar mereka, fenomena politik transaksional para elit politik partai kita yang justru hal tersebut semakin meruntuhkan sendi-sendi demokrasi dimana keberadaan partai seharusnya memberikan edukasi politik yang baik kepada warga negara. Secara khusus menurut Ramlan Surbakti yang dikutip oleh Cholisin (2007:112) menyebutkan bahwa fungsi-fungsi partai politik meliputi sosialisasi politik, rekrutmen politik, partisipasi politik, pemadu kepentingan, komunikasi politik, pengendalian konflik, dan kontrol politik. Delegitimasi publik atas kinerja partai politik lebih disebabkan karena tidak berjalannya fungsi-fungsi ideal dari kepartaian diantaranya rekrutmen politik serta ketidakmampuan elit di dalamnya dalam mengartikulasi kepentingan sebagian besar rakyat, sehingga atas dasar itulah seharusnya masyarakat dapat menemukan alternatif lain dalam melaksanakan demokrasi prosedural melalui pemilihan Kepala Desa.
Ekspektasi atas sehatnya Pilkades sebagai wahana demokratisasi atau konsolidasi demokrasi sangat besar. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada perhelatan Pilkades di Desa Naggrak Bogor menyatakan bahwa kehidupan demokrasi yang baik sebenarnya bisa dimulai dengan pelaksanaan demokrasi di desa melalui pemilihan kepala desa atau Pilkades. Asalkan, pilkades di desa itu dapat dijalankan dengan langsung, umum, bebas dan rahasia serta jujur dan adil (Kompas, 11 Maret 2007). Bahkan pada masa menguatnya desakan perubahan Pemilihan Presiden dari Pemilihan dalam lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ke Pemilihan Presiden langsung, Pilkades seringkali menjadi referensi. Ruang publik seringkali dihiasi dengan statemen semacam ini: “..Kalau Pilkades saja sangat demokratis dengan pemilihan secara langsung, masak pemilihan presiden tidak berani secara langsung?!”.
Harapan yang besar terhadap demokrasi desa melalui Pilkades yang didasari oleh konsepsi politik das sollen, secara faktual menemui tantangan yang luar biasa. Beberapa Pilkades yang dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia sarat dengan permasalahan. Salah satu tantangan besar demokratisasi dalam lingkup desa adalah merebaknya politik uang (money politics) dalam Pilkades. Tidak berbeda jauh dengan Pemilihan Kepala Daerah yang sarat dengan permainan uang untuk mengegolkan dukungan kepada calon yang diajukan partai politik, Pilkades juga disinyalir sarat dengan praktek-praktek penggunaan uang untuk memobilisasi dukungan terhadap calon-calon yang bersaing memperebutkan jabatan puncak dalam pemerintahan desa.
Politik uang (money politics) merupakan salah satu fenomena dalam sistem politik yang dapat mendeligitimasi mekanisme elektoral di dalam demokrasi. Dalam demokrasi politik yang belum matang, seperti di Indonesia, politik uang dijadikan alat untuk memobilisasi dukungan. Partisipasi politik masyarakat dengan demikian tidak didasarkan pada political literacy yang mereka miliki, akan tetapi dikungkung oleh keharusan memberikan preferensi atas kontestan yang memberikan uang dengan jumlah terbesar.
Dengan praktek uang seperti itu, politik akan bergeser dari mekanisme mewujudkan kepentingan bersama (common good) ke proyek bisnis. Hal tersebut juga menjadikan adanya lingkaran tiada putus antara politik korupsi dan korupsi politik (Cholisin, dalam Jurnal Civics, 2004: 159).
Bagi sang calon, mekanisme elektoral demikian tentu sangat mahal (high cost mechanism). Dan hal itu akan menyeret kekuasaan yang diraih ke dalam perilaku politik “balik modal”. Ambisi kekuasaan yang begitu besar dengan cara-cara yang tidak terhormat demikian akan menghasilkan perilaku politik rendahan di tataran pemegang kekuasaan politik. Jika demikian yang terjadi maka demokrasi memberikan ruang terciptanya kapitalisme baru melalui praktek kompetisi yang tidak sehat.
B.   Literasi Politik dan Konsolidasi Demokrasi Lokal
Menghadapi fenomena diatas, politik uang dan beberapa dinamika persoalan politik lainnya mungkin hanya akan bisa kita bendung dengan beberapa langkah sebagai berikut 1) Literasi politik, literasi politik ini dipandang sebagai upaya untuk memahami seputar isu utama politik menjadi upaya yang penting bagi penguatan basis pengetahuan politik warga negara dan menghilangkan apatisme. Sehingga warga negara dapat berperan aktif untuk mewujudkan demokrasi yang lebih sehat dan berkualitas. Semakin cepat warga negara tercerahkan maka akan semakin memperbesar rasio publik berperhatian. Karena kelompok publik berperhatian ini biasanya turut menentukan nasib bangsa.
Literasi politik ini pada dasarnya diarahkan dalam rangka untuk merawat keberlangsungan politik demokrasi. Indonesia sebagai negara transisi dimana masih mencari bentuk baru penerapan sistem politik indonesia, keterlibatan aktor-aktor baru baik dalam merumuskan sistem politik yang baik. Oleh karenanya dibutuhkan pengarusutamaan (mainstreaming) literasi politik yang tidak semata-mata hanya sekedar normatif melainkan juga operasional dan faktual. Kerja literasi politik dapat diimplementasikan dalam jejaring politik warga negara berbentuk senyawa pengetahuan, keterampilan dan sikap politik tercerahkan sekaligus mendorong masyarakat agar aktif-partisipatif dalam melaksanakan hak serta kewajiban  mereka secara sukarela di arena politik terkait hajat hidup orang banyak. 2) konsolidasi politik lokal. Konsolidasi dipahami sebagai salah satu bentuk usaha dalam rangka memperteguh atau memperkuat komitmen politik bangsa (political will) dalam rangka mencapai tujuan negara. Dalam perspektif politik lokal, konsolidasi dipahami sebagai usaha untuk memperkuat baik secara kelembagaan (stuktural) maupun kultural ditingkat desa. Beberapa cara dalam rangka mengawal proses konsolidasi demokratisasi di desa adalah a) perlu mendorong partisipasi publik yang luas dan sehat melalui partisipasi secara kelembagaan dalam masyarakat. partisipasi publik tersebut terus mendorong proses kulturisasi melalui pendidik politik yang sehat bagi masyarakat. b) memperbesar proses rektruitmen elit politik yang akuntabel, transparan dan bersih berdasarkan prinsip integritas dan kapasitas yang dimilki elit. Dua langkah tersebut tidak lain merupakan bentuk upaya membangun dan memperkuat konsolidasi politik demokrasi yang hendak dikembangkan di indonesia.
*Penulis adalah pemerhati sosial dan politik dan staff pengajar pada prodi PPKn STKIP PGRI Sumenep

Post a Comment for "KEKUASAAN POLITIK UANG ; KEPENTINGAN PUBLIK VS BISNIS DALAM DEMOKRASI DESA"