Menulis itu Masalah?
Rabu, 30 November 2022, saya mengikuti kelas menulis yang dipandu oleh Pak Ali Harsojo, guru SDN Pajagalan 2 sekaligus penulis produktif tentang pendidikan. Saya berasumsi awalnya akan sama dengan kelas menulis lainnya, serius dan cenderung kontemplatif. Namun asumsi saya salah. Pak ali memilih membuka kelas menulis dengan booster video penyemangat yang ditampilkan layaknya seorang motivator.
Sumber Gambar: https://www.gramedia.com/ |
Ketika sesi materi, beliau menjelaskan berbagai macam gaya
tulisan berikut contoh-contoh yang ditampilkan. Peserta diajak untuk
mengeksplorasi gaya tulisannya berdasarkan gambar yang ditampilkan. Ada tulisan
yang bergaya naratif deskriptif dan ada yang cenderung puitis. Saya sendiri
kebingungan dengan gaya tulisan yang ingin saya tampilkan. Deskripsi lengkap
atau puitis?. Entahlah, yang penting saya menulis.
Gambar pertama ditampilkan di papan. Saya memahami gambar
pertama berdasarkan tampilan, pak Ali berdiri di depan labheng mesem dengan
menggenggam jari tangan dan mengangkat ibu jarinya. Itu saja. Saya mengeksplorasi
gambar tersebut lebih jauh pada sisi psikologis. Yakni Pak Ali, dengan penuh
semangat menatap dunia, berdiri tegak di depan labheng mesem sebagai simbol
keceriaan dan semangat dalam mengarungi hidup. Dengan bibir saling menekan, melengkung sedikit
ke bawah, serta genggaman 4 jari dan mengangakat ibu jari ke atas melambangkan optimisme
yang kuat bahwa setiap apa yang dilakukannya harus selesai.
Tampilan gambar kedua tentang virus corona. Saya melihatnya
secara deskriptif tanpa melihat dari sisi lainnya. Gambar ketiga yakni laut
dengan latar matahari akan terbenam. Secara mendeskripsikan dengan gaya puitis
“Senja menyapa.
Terlihat senyummu merekah di ujung rona
Ombak berlari merenjana
Berkejaran dengan gemuruh yang mengoyak jiwa
Ingin kutitipkan senyum
Pada ranum senja
Agar ia tambatkan pada malam “
Ketika saya dihadapkan pada menulis, pertama yang membuat
saya berpikir keras adalah ide apa yang saya inging tuangkan?, belum lagi gaya
seperti apa yang akan saya gunakan?, sasaran nya siapa? Bagaimana memulai? Dan sederet
pertanyaan lainnya. Belum lagi pikiran, untuk apa saya menulis? Untuk kesenangan?,
kebutuhan?, meluapkan emosi? Atau sekedar corat-coret atau ketak-ketik
keyboard?. Sungguh saya tak mampu untuk menfokuskan itu semua.
Jika pak Ali memberikan tag line pelatihan dengan “menulis
itu mudah”. Maka bagiku menulis itu sebenarnya masalah. Masalah yang ia buat
sendiri, pikir sendiri, tulis sendiri, nikmati sendiri, dan ia mengajak orang
lain untuk menikmati “masalah”nya.
Saya beri contoh, orang menulis resep makanan, tidak serta
merta langsung memberikan solusi untuk makanan yang enak berdasarkan resepnya. Ia
akan berkutat sendiri dengan masalah masakannya terlebih dahulu. Untuk mendapatkan
resep makanan yang mantap, ia butuh waktu sekian lama meracik dan mengolah
dengan makanan. Setelah mendapatkan resepnya, ia tuliskan resep itu bahkan
mungkin ia sebarkan. Apakah selesai masalahnya, tidak!. Ketika akan menulis
resep tersebut dengan niat ingin disebarkan, ia akan berpikir dengan penuh
kehati-hatian bahkan berulang, dan itu masalah. Apakah resepnya cocok jika digunakan
oleh orang lain dengan citarasa yang berbeda darinya?. Itu juga masalah.
Bahkan mungkin hampir semua tulisan dimulai dengan latar
masalah. Buku pelajaran? . iya termasuk juga buku pelajaran. Mengapa?. Buku pelajaran
ditulis berdasarkan kebutuhan akan pelajar. Kebutuhan siswa beragam, tingkat
kecerdasannyapun berbeda, namun buku pelajaran diasumsikan untuk yang mempunyai
tingkat kebutuhan dan kecerdasan yang sama.
Tulisan ini tidak hendak menghakimi bahwa orang yang menulis
itu sebenarnya orang yang mempunyai masalah. Meskipun kadang pernyataan
tersebut tidak seratus persen salah. Karena di beberapa tempat saya mendengarkan
slogan menulis merupakan kebutuhan, menulis meupakan passion. Saya tak
menyalahkannya, sama seperti mentor penulis, pak Ali, tinggal tergantung
perspektif sang penulis dalam memandang tulisan. Namun bagi saya, awal dari
sebuah tulisan didasari pada masalah. Mulai masalah sepele sampai berat, sekedar
curhat sampai tulisan ilmiah, sekedar berbagi resep sampai solusi kemelut rumah
tangga, sekedar tulisan puisi sampai filsafat. Semua didasari masalah.
Berbagai pertanyaan berkelibat di benak saya, apakah tulisan
itu sekedar mengurai realitas?, sekedar curhat?, sekedar berdialog dengan diri
sendiri?, atau tuntutan akademik?. Benarkan dengan menulis dapat melepas energi
positif dan negatif?, benarkah dengan menulis menjadikan diri kita lebih leluasa
mengutarakan pikiran dan menjadikan lebih solutif dalam memandang
masalah?. Bagaimana dengan tulisan itu
sebagai masalah?. Apakah dengan mengatakan hal tersebut terkesan lebay, tendensius dan cenderung provokatif?. Entah lah,
mungkin karena saya menulis tulisan ini dalam keadaan bermasalah.
Post a Comment for "Menulis itu Masalah?"
Komentar/ informasi anda sangat kami butuhkan